Sabtu, 03 November 2012

1001 Cara untuk jadi Franchisee Sukses

Ibarat mencari jodoh, tak ada rumus baku untuk jadi franchisee (pembeli franchise) sukses. Mungkin Anda bisa meniru cara franchisee lain memilih suatu franchise dan Anda pun ikut sukses. Tapi Anda juga bisa gagal gara-gara tak cocok dengan pribadi franchisor-nya.

Pengalaman dari seorang franchisee yang sukses pun bisa berbeda. Ia mungkin sukses mengembangkan gerai franchise di suatu tempat, namun ketika mendirikan gerai di tempat lain dari franchise yang sama bisa saja gagal. Karena itu ada seribu satu cara untuk jadi franchisee sukses dan sebanyak itu pula peluang Anda untuk terpeleset. Poin dari semua ini adalah dengan membeli franchise (menjadi franchisee) bukan berarti Anda tinggal menunggu untung. Ada banyak tahapan usaha yang harus dilakukan. Anda harus jeli melihat peluang, rajin melakukan penjajagan, tak segan bertanya pada franchisee lain yang sukses, dan tahu daya serap pasar di tempat yang sedang diincar. Jika punya kesempatan dan diijinkan franchisor, lakukan inovasi. Kondisi ini menjadikan memburu franchise jadi sesuatu yang menarik.

Memburu Franchise Baru
Ada kelompok orang yang suka memburu franchise baru. Mungkin pola kerjasama bisnis yang diburunya masih belum masuk kategori franchise. Menurut istilah Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) konsepnya masih business opportunity (BO), konsep bisnis model franchise yang masih prematur, tapi jika dikembangkan sedikit lagi akan menjadi franchise. Bisa juga bentuk kemitraan lain yang punya potensi dikembangkan menjadi franchise.

Menurut mereka, dengan membeli pola kerjasama model begini, punya peluang untuk ikut memberikan saran dan memasukkan gagasan-gagasannya menjadi konsep franchise di jaringan tersebut. Tak tertutup kemungkinan kerjasama dirinya dengan franchisor meningkat lagi menjadi pemegang saham franchisor-nya (perusahaan yang mengembangkan franchise), atau lebih jauh lagi.

Tengok pengalaman Budi Utoyo. Budi yang kini punya jaringan franchise Spa Leha-Leha itu semula menjadi franchisee C’lup-C’lup, jaringan gerai makanan hasil laut yang cara memakannya dengan mencelupkan makanan tersebut ke kuah khusus (dicelupkan). Franchise ini dikembangkan Fen Saparita dan kawan-kawan di Yogyakarta. Kebetulan antara Fen dan Budi pernah sama-sama ikut Entrepreneur University milik Purdi E. Chandra. Budi jadi master franchise C’lup-C’lup untuk daerah pengembangan Bekasi dan sekitarnya.

Ternyata C’lup-C’lup di Yogyakarta kurang berkembang. Budi berinisiatif mengambilalih perusahaan yang jadi franchisor-nya di Yogyakarta dan memindahkan base-camp-nya ke ke Bekasi mulai tahun 2004. Sejak itulah Budi menjadi franchisor C’lup-C’lup. Sekarang ia menawarkan franchise C’lup-C’lup dengan paket investasi sebesar Rp 21,6 jutaan. Dari upayanya itu gerai C’lup-C’lup sekarang berkembang menjadi 34 gerai.

Sukses itu malah membuat Budi terinspirasi mengembangkan franchise makanan jenis lain. “Sekarang saya mengembangkan dua lagi gerai makanan yaitu Baso Presiden dan Ayam Goreng Tulang Lunak Solo. Keduanya masing-masing baru memiliki lima gerai,” kata Budi. Dengan menambah dua gerai ini Budi kini memiliki empat franchise dengan kisaran besar investasi awal mulai puluhan juta rupiah (C’lup-C’lup dan Baso Presiden), seratusan juta rupiah (Ayam Goreng Tulang Lunak Solo), dan delapan ratusan juta rupiah (Spa Leha-Leha).

Ada juga yang memilih franchise baru karena alasan banyak diskon. Franchise baru umumnya memang ditawarkan dengan sejumlah diskon, termasuk tak memungut franchise fee pada tahun pertamanya. Malah ada juga yang tak memungut royalty fee selama tahun pertamanya. Sedangkan bahan atau alat pendukung lain masih bisa diperoleh sendiri. Umumnya mereka menganggap dengan mencari bahan atau alat pendukung sendiri biaya investasinya bisa ditekan.

Yanti Isa yang sukses mengembangkan gerai ayam goreng Red Crispy menjadi 650 gerai sekarang, mencoba menawarkan gerai sejenis dengan target pasar yang berbeda dengan nama MagFood Amazy mulai Juli 2007. “Konsep Amazy berbeda dengan Red Crispy. Amazy diposisikan untuk kelas menengah dengan target pasar para ABG (anak baru gede),” kata Yanti. Franchise Amazy ditawarkan dengan paket investasi mulai dari Rp 25 juta hingga Rp 163,5 juta. Konsep gerainya mulai dari yang berbentuk booth sampai kafe. “Untuk tahun pertama ini kami tidak memungut franchise fee dulu. Ini karena Amazy masih baru,” kata Yanti. Hingga Agustus 2007 lalu Yanti sudah memiliki 10 gerai.

Memang belum ada franchisee-nya yang balik modal. Tetapi jika trennya bisa menghasilkan omset Rp 470  ribu sehari untuk paket investasi Rp 25 juta, balik modal bisa dicapai dalam tempo 11 bulan. Sekarang, katanya, malah sudah ada yang memiliki omset Rp 500 ribuan sehari.

Terobosan Pasar Para Franchisee
Kunci sukses untuk meraih omset besar itu, kata Yanti, karena franchisee-nya kreatif mencari pasar. Tak hanya menunggu gerai. Pengalaman dari mengelola Red Crispy menunjukkan itu. Franchisee yang rajin mencari pasar di luar jangkauan gerainya bisa meningkatkan omsetnya. Misalnya, memasok ayam goreng ke tempat hajatan atau tempat lain seperti kantor dan lain sebagainya.

Terobosan pasar juga dilakukan oleh franchise gerai pisang goreng Ta B’Nana di Roxy, Jakarta Pusat. Menempati gerai yang berada di tempat sempit dan terhimpit pertokoan serta jalanan di depan macet tak menyempitkan akal pemiliknya. Justru itu memancing inovasi Rudi,  franchisee Ta B’Nana itu, untuk jemput bola. Ia mengaku tertarik ke Ta B’Nana karena selain pisang gorengnya enak franchisor-nya juga enak diajak diskusi. Pada awalnya ia menjual pisang goreng seperti biasa, menunggu pembeli.

Namun setelah berjalan beberapa bulan Rudi mencoba hal baru yang idenya berasal dari pengamatannya melihat kemacetan di depan gerainya yang terjadi setiap hari. “Saya meminta pegawai saya menawarkan pisang goreng dari mobil ke mobil,” kata Rudi. Caranya, si pegawai menghampiri mobil-mobil yang terjebak macet sambil membawa kertas pesanan pisang goreng Ta B’Nana. Begitu pesanan diterima ia berlari mengambil pisang goreng sesuai jumlah pesanan yang diterimanya. Penjajaan model begini dilakukan mulai sekitar jam 17.00,  jam di mana kemacetan dimulai.

Cara jemput bola seperti itu ternyata berhasil mendongkrak jumlah penjualannya. Menurut Rudi, balik modal dia lebih cepat satu bulan dibanding yang ditargetkan Ery Ashok, pendiri Ta B’Nana (franchisor-nya). Ery sendiri mengaku terkesan dengan cara memasarkan pisang goreng Ta B’Nana model Rudi.  “Saya sedang mempelajari bagaimana ia bisa sukses seperti itu,” cerita Ery lagi.

Tetapi tak semua upaya franchisee mulus dengan inovasinya. A. Baidillah Thariq mengambil franchise Senyumuslim pada tahun 2005. Saat itu lelaki muda yang akrab dipanggil Barra ini membeli ruko tiga lantai di kawasan Ruko Kalimanis, Bekasi Timur. Ketika ditanya DUIT! tahun 2006 lalu ia menyebut mengambil franchise Senyumuslim karena ingin memanfaatkan rukonya tersebut. Investasi keseluruhan, termasuk beli toko dan mengambil franchise Senyumuslim, menurut pengakuannya, mencapai Rp 600 juta, jelas itu bukan investasi kecil. Namun ia yakin bisnis Senyumuslim akan berkembang, terlebih-lebih di Bekasi Timur yang, menurut dia, daerahnya cocok untuk perkembangan bisnis keperluan kaum Muslim.

Barra optimistis gerai Senyumuslim-nya akan berkembang pesat. Untuk menambah kekuatan positioning-nya ia menamakan gerai Senyumuslim-nya sebagai Pusat Grosir dan Eceran Produk Islami. Untuk mendukung ini ia melakukan promosi sendiri yang lumayan gencar di Bekasi. Selain melakukan bedah buku Islam, ia juga bekerjasama dengan radio swasta di Bekasi untuk mempromosikan. Hasilnya? “Imej Senyumuslim di Bekasi sudah sangat baik sekarang,” katanya.

Namun upaya keras itu, ia menyebutkan, tak sesuai dengan ketersediaan barang-barang yang bisa dipasok franchisor-nya. “Terutama supporting product yang masih kurang, variasi produk masih kurang,” katanya. Ia memisalkan, tatkala orang berbondong-bondong ke gerainya karena promosi yang ia lakukan, jumlah produk yang bisa ditemukan tak begitu banyak. Dan ketika meminta tambahan variasi produk ke franchisor itu juga masih sulit terpenuhi. Seharusnya, kata dia, franchisor memperhatikan ini.

Sekarang, Barra sedang mengerem dulu promosi Senyumuslim-nya karena khawatir produk yang tersedia tak sesuai dengan harapan pasar. Ia memperkirakan layanan franchisor yang menurutnya kurang itu karena gerai Senyumuslim sudah terlalu banyak saat ini. Akibat mengerem berpromosi itu omset Senyumuslim Barra jadi agak turun. Ketika pertama kali mengelola Senyumuslim omsetnya bisa mencapai Rp 30 juta sampai Rp 40 juta sebulan. “Sekarang di bawah itu,” ungkapnya.

Sodik Amin, franchisor dan pendiri Senyumuslim, mengakui penurunan omset gerai milik Barra itu. Namun itu karena masalah administrasi, katanya. Sedangkan mengenai jumlah produk yang disediakan Senyumuslim, katanya lagi, saat ini sudah ribuan item produk. Menurut dia, bagi franchisee-nya yang penting harus aktif seperti melakukan bazar, bedah buku dan sebagainya. Untuk keperluan itu franchisor siap membantu. Jika itu dilakukan omsetnya bisa tinggi. Ia menyebutkan franchisee-nya di Bengkulu bisa membukukan omset antara Rp 2 juta sampai 4 juta sehari. “Jadi sebulan bisa mencapai Rp 100-an juta,” ujar Sodik.

Yang menarik Barra, yang selain jadi franchisee dari Senyumuslim juga jadi franchisee dari franchise lain, mengemukakan pandangannya mengenai franchise secara umum di Indonesia. Ada kecenderungan, katanya,  franchise yang belum matang sudah ditawarkan kepada umum. Parahnya lagi, banyak franchisor yang menggunakan gerai milik franchisee-nya sebagai bahan percobaan. “Seharusnya sistemnya matangkan dulu. Para franchisee itu kan umumnya mereka yang memiliki uang lebih. Harus diapakan uangnya itu? Melalui franchise mereka berharap uangnya bisa diinvestasikan tanpa perlu susah-susah mengelolanya,” tuturnya.

Pada dasarnya Barra yang juga mengelola usaha Event Organizer dan produksi batu bata di Kerawang, melihat franchise merupakan sistem yang menarik. Karena itu selain mengembangkan gerai Senyumuslim ia juga mengembangkan gerai lain. Gerai yang dimaksud adalah gerai rumah makan franchise bernama Clemont yang menawarkan steak ayam, dan lain-lain. Franchise rumah makan asal Bandung ini ia ambil beberapa waktu lalu dengan investasi Rp 40 juta setiap gerainya. Pertama kali ia membelinya dengan mendirikan gerai Clemond di Bekasi. Lalu ia mencari tempat lain yang dekat kampus. Ternyata gerai yang baru ini menghasilkan pendapatan lebih baik. Omsetnya rata-sarat Rp 1,5 juta sehari. Kini ia memiliki enam gerai Clemont.

Bagi sejumlah orang, mengambil suatu franchise memberi tantangan tersendiri.  Awalnya memang sulit, namun setelah mengetahui dan mengalami seluk-beluknya sukses pun bisa diraih. Begitu berhasil mengembangkan satu outlet umumnya ketagihan untuk menambah outlet franchise bersangkutan atau mengambil franchise lain. (Sumber: www.majalahduit.co.id/DEN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar